PPh Pasal 23
Ruang Lingkup Pemotongan PPh Pasal 23
Pada dasarnya pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 23 baru bisa dilakukan jika telah memenuhi ruang lingkup pengenaan, yaitu pemberi penghasilan memenuhi kriteria sebagai pemotong PPh Pasal 23, penerima penghasilan memenuhi kriteria sebagai pihak yang dipotong PPh Pasal 23 dan jenis penghasilan yang dibayarkan adalah termasuk penghasilan-penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23.
Pengertian PPh Pasal 23
Pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari deviden, bunga, royalty, sewa, dan penghasilan lain atas penggunaan harta dan imbalan jasa teknik / manajemen dan jasa lainnya.
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23
Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-undang Pajak Penghasilan 1984), pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah :
a. Badan Pemerintah
Tidak ada penjelasan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti Badan Pemerintah ini. Namun demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa yang dimaksud dengan Badan Pemerintah adalah Pemerintah negara Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah di Indonesia beserta instansi-instansi di bawahnya. Dalam prakteknya, pemotongan PPh Pasal 23 oleh instansi pemerintah dilakukan oleh bendahara pemerintah.
b. Subjek Pajak Badan dalam negeri
Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, subjek pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Istlah didirikan mengandung arti bahwa badan tersebut didirikan berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia. Sementara itu istilah bertempat kedudukan menunjukkan bahwa badan tersebut memiliki efektif manajemen di Indonesia di mana pengambilan keputusan-keputusan penting tentang badan tersebut dilakukan di Indonesia.
Pengertian badan sendiri berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap
c. Penyelenggara kegiatan
Penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan yang melakukan suatu event atau kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan adalah orang pribadi atau badan yang mengorganisir suatu acara seperti pertunjukkan, perlombaan, seminar dan lain-lain.
d. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
BUT adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di Indonesia sehingga menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Walaupun termasuk Wajib Pajak luar negeri, pemenuhan hak dan kewajiban BUT disamakan dengan pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam negeri.
Pengertian BUT bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel dan lain-lain.
e. Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya
Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia juga merupakan pemotong PPh Pasal 23. Contohnya adalah Representative Office (RO) dari perusahaan-perusahaan asing.
Pihak Yang Dipotong PPh Pasal 23
Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, penerima penghasilan yang dapat dipotong PPh Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap. Dengan demikian, pihak yang dipotong PPh Pasal 23 bisa Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri ataupun Wajib Pajak badan dalam negeri. Ini berarti bahwa jika penerima penghasilan adalah Wajib Pajak luar negeri, kecuali BUT, maka PPh Pasal 23 tidak bisa dikenakan.
Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 23
Hal ketiga yang menjadi ruang lingkup pemotongan PPh Pasal 23 adalah bahwa penghasilan yang diterima oleh penerima penghasilan adalah jenis penghasilan yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23. Jenis-jenis penghasilan ini diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu :
- dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-undang Pajak Penghasilan 1984;
- bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f Undang-undang Pajak Penghasilan 1984;
- royalti;
- hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e Undang-undang Pajak Penghasilan 1984;
- sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan; dan
- imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Khusus untuk jasa konstruksi, sehubungan dengan pengenaan Pajak Penghasilan final Pasal 4 ayat (2) terhadap semua jenis jasa konstruksi berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 dan perubahannya, maka imbalan jasa konstruksi tidak lagi menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23.
Untuk jenis jasa lain, Undang-undang Pajak Penghasilan, melalui Pasal 23 ayat (2), memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut tentang jenis jasa lain ini dengan Peraturan Menteri Keuangan. Untuk itu Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 Tentang Jenis Jasa Lain Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Penghasilan Yang Tidak Dipotong PPh Pasal 23
Terkait dengan penghasilan yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23 ini, tidak boleh dilupakan bahwa terdapat pengecualian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23. Penghasilan-penghasilan yang tidak dipotong PPh Pasal 23 ini dicantumkan dalam Pasal 23 ayat (4) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Berikut ini adalah penghasilan-penghasilan yang dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23.
1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.
Pembayaran bunga ke bank misalnya tidak dapat dipotong PPh Pasal 23. Bank akan melunasi Pajak Penghasilannya melalui pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25.
2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi.
Sama halnya dengan bank, pelunasan Pajak Penghasilan perusahaan sewa guna usaha dengan hak opsi akan dilakukan dengan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25.
3. Bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i Undang-undang Pajak Penghasilan.
Tidak termasuk objek Pajak Penghasilan adalah bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif. Oleh karena itu atas bagian laba seperti ini tidak seharusnya dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23.
4. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
5. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan
Ketentuan lebih lanjut tentang hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.03/2008 tentang Penghasilan Atas Jasa Keuangan Yang Dilakukan Oleh Badan Usaha Yang Berfungsi Sebagai Penyalur Pinjaman Dan/Atau Pembiayaan Yang Tidak Dilakukan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23.
Berdasarkan ketentuan ini, penghasilan sehubungan dengan jasa keuangan yang tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 adalah berupa bunga atau imbalan lain yang diberikan atas penyaluran pinjaman dan atau pemberian pembiayaan, termasuk yang menggunakan pembiayaan berbasis syariah.
Badan usaha jasa keuangan yang atas penghasilannya tidak dipotong PPh Pasal 23 ini terdiri dari :
· perusahaan pembiayaan yang merupakan badan usaha di luar bank dan lembaga keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan dan telah memperoleh ijin usaha dari Menteri Keuangan;
· badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah yang khusus didirikan untuk memberikan sarana pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, termasuk PT (Persero) Permodalan Nasional Madani.
tarif PPh 23
Apabila PPh Pasal 23 bisa dikenakan setelah memenuhi ruang lingkup sebagaimana sudah di jelaskan dalam tulisan Ruang Lingkup Pemotongan PPh Pasal 23, maka pertanyaan berikutnya adalah berapa besar PPh Pasal 23 yang harus dipotong? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua hal yang harus diperhatikan yaitu tarif pemotongan PPh Pasal 23 dan dasar pengenaan PPh Pasal 23. Tarif PPh Pasal 23 sendiri mengenal dua jenis tarif yaitu tarif 15% dari jumlah bruto dan tarif 2% dari jumlah bruto.
PPh Pasal 23 Dengan Tarif 15%
Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, atas beberapa jenis objek PPh Pasal 23 dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif 15% dari jumlah bruto. Objek pemotongan PPh Pasal 23 yang dikenakan tarif 15% dari jumlah bruto ini adalah :
1. Dividen
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Pengertian dividen ini mengacu kepada Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.
Perlu ditegaskan bahwa tidak semua dividen yang memenuhi definisi di atas adalah objek PPh Pasal 23. Ada dividen yang juga bukan merupakan objek pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Terdapat juga dividen yang merupakan objek pemotongan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2c) dan Pasal 26 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan 1984
2. Bunga
Pengertian bunga merujuk kepada Pasal 4 ayat (1) huruf f Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 di mana dalam pengertian bunga termasuk juga premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
Seperti halnya dividen, tidak semua bunga juga menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23. Ada jenis bunga yang bukan merupakan objek pajak sehingga tidak boleh dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf h Undang-undang Pajak Penghasilan. Jenis bunga yang lain seperti bunga deposito dan tabungan menjadi objek pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) final. Ada juga bunga yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 26 jika penerimanya adalah Wajib Pajak luar negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan.
3. Royalti
Berdasarkan penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf h Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, imbalan berupa royalti terdiri dari tiga kelompok, yaitu imbalan sehubungan dengan penggunaan:
1. hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang, formula, atau rahasia perusahaan;
- hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud dengan alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan adalah setiap peralatan yang mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatan-peralatan yang digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran minyak (drilling rig), dan sebagainya;
- informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri dari informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Tidak termasuk dalam pengertian informasi di sini adalah informasi yang diberikan oleh misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya, yang dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang sama.
Perlu diperhatikan bahwa untuk imbalan royalti ini ada kemungkinan juga merupakan objek pemotongan PPh Pasal 26 jika penerima penghasilannya adalah Wajib Pajak luar negeri.
4. Hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.
Hadiah, penghargaan dan bonus sebenarnya merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21 juga. Namun harus diperhatikan bahwa ruang lingkup pemotongan PPh Pasal 21 adalah bahwa penerima penghasilannya Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Apabila penerimanya adalah Wajib Pajak badan dalam negeri atau BUT, maka PPh Pasal 21 tidak bisa diterapkan. Nah, untuk jenis Wajib Pajak tersebut maka PPh Pasal 23 lah yang bisa diterapkan.
Contoh untuk kasus PPh Pasal 23 ini misalnya sebuah yayasan lingkungan hidup memberikan penghargaan kepada perusahaan yang memiliki kepedulian kepada lingkungan sekitarnya. Apabila bentuk penghargaan ini diberikan dalam bentuk uang atau barang yang memiliki nilai naka penghargaan ini menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23 karena penerimanya adalah Wajib Pajak badan dalam negeri. Besarnya PPh Pasal 23 adalah 15% dikalikan jumlah bruto nilai penghargaan.
PPh Pasal 23 Dengan Tarif 2%
Berikut adalah jenis-jenis penghasilan objek pemotongan PPh Pasal 23 yang dikenakan tarif PPh Pasal 23 2% dari jumlah bruto.
a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta merupakan penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan kesepakatan untuk memberikan hak menggunakan harta selama jangka waktu tertentu baik dengan perjanjian tertulis maupun tidak tertulis sehingga harta tersebut hanya dapat digunakan oleh penerima hak selama jangka waktu yang telah disepakati. Definisi ini ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ/2010 tentang Pengertian Sewa Dan Penghasilan Lain Sehubungan Dengan Penggunaan Harta, Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Dan Jasa Konsultan Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
Perlu digarisbawahi bahwa tidak termasuk dalam objek pemotongan PPh Pasal 23 adalah sewa tanah dan/atau bangunan yang telah dikenakan PPh final berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.
b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain
Jasa konstruksi telah dikenakan PPh final Pasal 4 ayat (2) sehingga tidak lagi menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23. Dengan demikian, dalam kelompok ini pada umumnya adalah imbalan jasa selain dari imbalan jasa konstruksi.
Pengertian jasa teknik, jasa manajemen, dan jasa konsultan dapat kita temui di Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ/2010 tentang Pengertian Sewa Dan Penghasilan Lain Sehubungan Dengan Penggunaan Harta, Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Dan Jasa Konsultan Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
Jasa teknik merupakan pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang dapat meliputi :
- pemberian informasi dalam pelaksanaan suatu proyek tertentu, seperti pemetaan dan/atau pencarian dengan bantuan gelombang seismik;
- pemberian informasi dalam pembuatan suatu jenis produk tertentu, seperti pemberian informasi dalam bentuk gambar-gambar, petunjuk produksi, perhitungan-perhitungan dan sebagainya; atau
- pemberian informasi yang berkaitan dengan pengalaman di bidang manajemen, seperti pemberian informasi melalui pelatihan atau seminar dengan peserta dan materi yang telah ditentukan oleh pengguna jasa.
Jasa manajemen merupakan pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan atau pengelolaan manajemen. Sementara itu Jasa konsultan merupakan pemberian advice (petunjuk, pertimbangan, atau nasihat) profesional dalam suatu bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga ahli atau perkumpulan tenaga ahli, yang tidak disertai dengan keterlibatan langsung para tenaga ahli tersebut dalam pelaksanaannya.
Untuk jasa lain, Undang-undang Pajak Penghasilan, melalui Pasal 23 ayat (2), memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut tentang jenis jasa lain ini dengan Peraturan Menteri Keuangan. Untuk itu Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 Tentang Jenis Jasa Lain Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Tarif PPh atas Jasa Konstruksi :
No. | Jenis kegiatan | Kualfikasi | Tarif |
1. | Pelaksanaan Konstruksi | Kualifikasi usaha kecil | 2% |
2. | Pelaksanaan Konstruksi | Tidak memiliki kualifikasi usaha | 4% |
3. | Pelaksanaan Konstruksi diluar angka 1 dan 2 | Kualifikasi usaha menengah dan besar | 3% |
4. | Perencanaan dan pengawasan konstruksi | Memiliki kualifikasi usaha | 4% |
5. | Perencanaan dan pengawasan konstruksi | Tidak memiliki kualifikasi | 6% |
Tarif 2% Atas Imbalan Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Jasa konsultasi, dan Jasa Lain
No. | Jenis Jasa ( Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 ) |
1. | Jasa Penilai |
2. | Jasa Aktuaris |
3. | Jasa Akuntansi, pembukuan, atestasi laporan keuangan |
4. | Jasa Perancang ( Design ) |
5. | Jasa Pengeboran ( Drilling ) di bidang penambangan minyak dan gas bumi ( MiGas ) kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap |
6. | Jasa penunjang di bidang penambangan MiGas |
7. | Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain MiGas |
8. | Jasa penunjang di bidang penerbangan |
9. | Jasa penebangan hutan |
10. | Jasa pengolahan limbah |
11. | Jasa penyedia tenaga kerja ( outsourching service ) |
12. | Jasa perantara dan atau kegenan |
13. | Jasa di bidang perdagangan surat – surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh bursa efek |
14. | Jasa kustodian / penyimpanan / atau penitipan |
15. | Jasa pengisian suara ( Dubbing ) dan atau sulih suara |
16. | Jasa mixing film |
17. | Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan, dan perbaikan |
18. | Jasa instalasi / pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan atau TV kabel |
19. | Jasa perawatan alat transportasi / kendaraan dan atau bangunan |
20. | Jasa maklon |
21. | Jasa penyelidikan dan keamanan |
22. | Jasa penyelenggaraan kegiatan atau event organizer |
23. | Jasa pengepakan |
24. | Jasa penyediaan tempat dan atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi |
25. | Jasa pembasmian hama |
26. | Jasa kebersihan / cleaning service |
27. | Jasa catering atau tata boga |
no | Jenis Penghasilan | Tarif PPh 23 - (bagi WP ber-NPWP) (%) | Tarif PPh 23 - (bagi WP yang tidak ber-NPWP) (%) | |
1 | Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g UU PPh | 15% dari Jumlah bruto | 30% dari jumlah ruto | |
2 | Bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f UU PPh; | 15% dari jumlah bruto | 30% dari jumlah ruto | |
3 | Royalti | 15% dari jumlah bruto | 30% dari jumlah bruto | |
4. | Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh 21 | 15% dari jumlah bruto | 30% dari jumlah bruto | |
5. | Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai PPh Final pasal 4 (2) | 2 % dari jumlah bruto tidak termasuk PPN | 4% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN | |
6. | Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi(*), jasa konsultan | 2% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN | 4% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN | |
7 | Jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan PMK-244/PMK.03/2008 | 2% dari Jumlah bruto tidak termasuk PPN | 4% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN | |
| a. | Jasa penilai (appraisal); | ||
| b. | Jasa aktuaris; | ||
| c. | Jasa akuntansi, pembukuan, dan asestasi laporan keuangan; | ||
| d | Jasa perancang (design); | ||
| e | Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap; | ||
| f | Jasa penunjang di bidang penambangan migas :
| ||
| g | Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas :
| ||
| h | Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara:
| ||
| i | Jasa penebangan hutan; | ||
| j | Jasa pengolahan limbah; | ||
| k | Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services); | ||
| l | Jasa perantara dan/atau keagenan; | ||
| m | Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI dan KPEI; | ||
| n | Jasa custodian/penyimpanan/penitipan, kecuai ayng dilakukan oleh KSEI; | ||
| o | Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara | ||
| p | Jasa mixing film; | ||
| q | Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan; | ||
| r | Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi; | ||
| s | Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, perawatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV Kable, alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi; | ||
| t | Jasa maklon; yaitu jasa pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), yang spesifikasi, bahan baku dan atau barang setengah jadi dan atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya disediakan oleh pengguna jasa, dan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa | ||
| u | Jasa penyelidikan dan keamanan; | ||
| v | Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer; yaitu kegiatan usaha yang dilakukan oleh pengusaha jasa penyelenggara kegiatan meliputi antara lain penyelenggaraan pameran, konvensi, pagelaran musik, pesta, seminar, peluncuran produk, konferensi pers, dan kegiatan lain yang memanfaatkan jasa penyelenggara kegiatan | ||
| w | Jasa pengepakan; | ||
| x | Jasa penyediaan tempat dan / atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi; | ||
| y | Jasa pembasmian hama; | ||
| z | Jasa kebersihan atau cleaning service; | ||
| aa | Jasa catering atau tata boga | ||
| | | |
Tatacara Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 23
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 memiliki kewajiban melakukan penyetoran PPh Pasal 23 ke kas negara atas PPh Pasal 23 yang dipotong dari penerima penghasilan. Terhadap penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 kepadanya diberikan bukti pemotongan PPh Pasal 23. Atas pemotongan yang telah dilakukan salam suatu masa pajak, Wajib Pajak sebagai pemotong pajak wajib melakukan pelaporan pemotongan PPh Pasal 23 yang telah dilakukan. Pelaporan dilakukan dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23.
1. Tatacara Penyetoran PPh Pasal 23
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 tanggal 1 April 2010 yang merupakan perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007, PPh Pasal 23 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Dalam pengertian hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Pembayaran dan penyetoran pajak harus dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak. SSP ini berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi. SSP dianggap sah jika telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). Adapun tempat pembayaran adalah Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai tempat pembayaran pajak.
2. Tatacara Pelaporan PPh Pasal 23
Pemotong PPh Pasal 23 wajib memberikan tanda bukti pemotongan PPh Pasal 23 kepada orang pribadi atau badan yang dipotong setiap melakukan pemotongan atau pemungutan. Bagi penerima penghasilan, bukti pemotongan PPh Pasal 23 ini adalah bukti pelunasan PPh terutang dalam tahun tersebut yang nantinya akan dikreditkan dalam SPT Tahunannya.
Apabila masa pajak telah berakhir, pemotong PPh Pasal 23 wajib melaporkan pemotongan yang telah dilakukan dalam masa pajak tersebut. Pelaporan ini dilakukan dengan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23/26 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak pemotong PPh Pasal 23 terdaftar.
Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23/26 harus disampaikan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. Contoh, untuk pemotongan PPh Pasal 23 bulan Oktober 2010, SPT Masa PPh Pasal 23 harus disampaikan paling lambat tanggal 20 Nopember 2010.
Dalam hal batas akhir pelaporan di atas bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Pengertian hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Soal-soal :
1. PT.Solusindo membayarkan deviden kepada Tn. Bonar Napitupulu pada bulan Juni 2006 sebesar Rp. 20.000.0000. PPh Pasal 23 dipotong PT.Solusindo adalah :
PPh pasal 23 = 15% x Bruto
= 15% x Rp 20.000.000 = Rp. 3.000.000
2. Pada tanggal 10 May 2008, PT. Sukses Gemilang, membagikan dividen masing-masing Rp 10,000,000 kepada 20 pemegang sahamnya. Atas dividen yang dibagikan, PT. Sukses Gemilang wajib memungut PPh Pasal 23.
· PPh Pasal 23 = Tarif x Jumlah Bruto = 15% x 10,000,000
PPh Pasal 23 = Rp 1,500,000
· Total PPh Pasal 23 yang dipotong (untuk 20 orang) = 20 x Rp 1,500,000
Total PPh Pasal 23 yang dipotong (untuk 20 orang) = Rp 30,000,000
3. PT Terang mengikat kontrak dengan PT Garmindo untuk pembuatan seragam kantor PT Terang berdasarkan model dan spesifikasi yang telah ditentukan oleh PT Terang. Dalam kontrak disepakati bahwa PT Terang akan menyediakan bahan baku utama berupa kain dan PT Garmindo akan menyediakan bahan tambahan. Imbalan yang disepakati atas kontrak tersebut adalah sebesar Rp 25.000.000,- tidak termasuk biaya bahan tambahan. PT Garmindo mengeluarkan biaya sebesar Rp 5.000.000,- untuk bahan tambahan.
Rincian tagihan PT Garmindo kepada PT Terang:
Biaya untuk bahan tambahan …………………… Rp. 5.000.000,-
Imbalan Jasa maklon……………………………… Rp. 25.000.000,-
Jawab :
Atas pembayaran yang dilakukan PT. Terang kepada PT. Garmindo dipotong PPh Pasal 23 oleh PT. Terang sebesar:
2% x Rp. 25.000.000,- = Rp. 500.000,-
Dalam hal tidak ada bukti pendukung atas rincian tagihan di atas maka jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 adalah sebesar Rp. 30.000.000,- sehingga PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT. Terang atas pembayaran kepada PT. Garmindo adalah sebesar: 2% x Rp. 30.000.000,- = Rp. 600.000,-